Jika derita busung lapar tak teratasi, satu generasi akan menjadi korban: tak berkualitas, alias bego.
NYANYIAN mendayu-dayu memuja tanah air nan kaya raya dan subur makmur tak lagi terasa merdu di telinga. Di berbagai daerah, kini bermunculan para penderita busung lapar. Balita dengan tulang iga menonjol, perut buncit, wajah tua, kini kerap muncul di bangsal perawatan anak di beberapa rumah sakit. Masya Allah.
Diawali kabar mengenai sejumlah anak penderita busung lapar atau buruk gizi yang dirawat di Rumah Sakit dr.Soetomo, Surabaya, selang beberapa waktu kemudian bermunculan kasus serupa di berbagai daerah, antara lain Irianjaya dan Ujungpandang.
Padahal, penyakit yang di kalangan kedokterar dikenal dengan nama honger oedema atau marasmus Kwasiorkhor itu, sejak dua dekade silam tak pernah terdengar. Tapi, kini penyakit kurang gizi itu semakin kerap disebut-sebut, dari Sabang sampai Merauke.
Kita tahu terjadinya busung lapar bukanlah sesuatu yang mendadak seperti gempa atau tsunami. Tetapi melalui proses dan tahapan dari kondisi kurang gizi, gizi buruk kemudian memasuki tahap busung lapar yang memerlukan waktu kurang satu tahun sampai 5 tahun. Semestinya hal itu dapat dideteksi sebelumnya, sehingga secara dini dapat segera diatasi. Mengapa kita demikian terlambat mengetahui, sehingga untuk sekian kali harus dipermalukan dihadapan masyarakat dunia? Padahal sebelum munculnya masalah busung lapar ini, UNDP telah melaporkan bahwa Indonesia termasuk negara yang mempunyai Human Development Index (HDI) atau kualitas hidup manusia rendah, menempati rangking ke 117 diantara l70 negara didunia yang jadi sasaran surveynya.
Menurut data kependudukan dan angka kepenyakitan, dari jumlah anak balita yang berjumlah sekitar 22 juta jiwa, tak kurang dari 35 persen di antaranya menderita kurang gizi, dari yang ringan sampai yang berat. Bahkan, untuk kasus yang berat, jumlahnya diperkirakan mencapai lima persen.
Repotnya, dalam situasi sekarang angka kepenyakitan busung lapar diperkirakan bakal semakin melonjak jika krisis ekonomi terus berkepanjangan. Gara-gara krisis moneter, jumlah penduduk miskin semakin banyak. Menurut data terakhir, jumlah tersebut mencapai sekitar 100 juta jiwa, alias 50 persen dari jumlah seluruhnya penduduk. Artinya, bahaya kelaparan mengancam seluruh wilayah Nusantara ter cinta.
Iftitah, misalnya,terpaksa dirawat di bangsal anak Rumah Sakit dr.Soetomo, Surabaya. Tubuh bayi usia satu tahun itu kurus kering, berat badannya tinggal 3.5 kilogram, padahal berat badan yang normal seharusnya dua kali lipat. Menurut ibunya, Nyonya Naimah, sejak lima bulan terakhir putri tunggalnya yang sudah disapih itu tak pernah minum susu lagi. “Air susu saya sudah berhenti, sedangkan untuk membeli susu kalemg, saya tak mampu,” tuturnya.
Nasib serupa dialami oleh Muhammad Ridwan alias Yeyen. 1,5 tahun. la dirawat di bangsal perawatan anak-anak Rumah Sakit dr. Wahidin Soedirohusodo Ujungpandang. Tubuh bocah malang itu membengkak luar biasa. Menumt direktur rumah sakit itu, dr. Nurfiah A. Patiroi,M.H.A.. putra keluarga Mantasia itu posilif kekurangan energi protein. “Seumur umur baru kali ini saya menemukan kasus busung lapar,” ujarnya sedih.
Beberapa gejala yang lazim pada penderita penyakit busung lapar, antara lain, pembengkakan pada tubuh, busung pada perut. Selain itu, perut mual, muntah-muntah disertai menceret, kulit berkerut, dan wajah tampak menua.
* Masalah Utama
Kelihatannya penyakit busung lapar tersebut tak terlalu berbahaya. Tapi, di kemudian hari bisa menjadi masalah besar-seperti dikemukakan oleh Prof.Dr. Soekirman, pakar gizi dari Lembaga llmu Pengetahuan Indonesia awal Oktober lalu. Dosen di Institut Pertanian Bogor itu khawatir, bila penyakit itu tidak ditangani secara serius, pada dekade mendatang kita bakal kehilangan sejumlah besar generasi muda yang berkualitas, alias bodoh. Padahal, kita tengah menggalakkan peningkatan kualitas sumber daya manusia.
Kekhawatiran Prof. Soekirman dibenarkan oleh Prof: Dr. Soegeng Soegijanto, M.D., Phd. Menurut Kepala Laboratorium Anak di Rumah Sakit dr. Soetomo itu, anak-anak balita yang menderita busung lapar akan mengalami gangguan pertumbuhan dan perkembangan. khususnya pada sel otak. “Akibatnya, anak-anak yang menderita busung lapar akan menjadi bodoh dan kondisi dfisiknya lemah,” katanya.
Itu sebabnya, Menteri Kesehatan F.A. Moeloek segera membentuk tim pemantau penyakit busung lapar untuk memantau daerah-daerah rawan pangan yang menjadi lahan subur merebaknya penyakit busung lapar. Tim juga akan menjalin kerja sama dengan lembaga-lembaga sosial bertarap internasional, antara lain United Nations Children’s Fund (Unicef). yang sejak tahun ini meniggalakkan pasokan makanan pengganti air susu ibu (ASI) di Jawa, Nusa Tenggara Timur dan Barat serta Timor Timur. Selain itu, tim juga bermitra dengan World Vision lnternational, Catholic Relief Service dan Catholic Children Fund. Lembaga-lembaga tersebut akan membantu beras, susu, dan obat-obatan untuk daerah-daerah rawan pangan di Indonesia Bagian Timur.
Upaya pemerintah mengatasi busung lapar sudah benar. Namun, upaya itu hendaknya jangan sekadar membagi-bagi pasokan susu dan makanan bergizi, melainkan- dan sudah seharusnya-lebih dari itu, yaitu mengatasi kemiskinan sebagai masalah utama. Sebab, sebagian besar penderita busung lapar berasal dari keluarga miskin. Jika kemiskinan tak teratasi, penyakit busung lapar akan datang mengancam.
Namun jika kita semua telah menjadi semakin bebal dan tidak punya malu mempunyai negara terkorup didunia, penghutang terbesar, terjelek kualitas kesejahteraan rakyatnya, dengan sukacita dan sombong menikmati kemewahan harta kriminal yang diperoleh. Barangkali kita telah menggenapkan syarat rukun untuk terjadinya gelombang tsunami sosial yang akan meluluhlantakkan peradaban yang dibangun dengan keringat dan darah para leluhur bangsa. Naudzubillah mindzalik !
http://jurnalis.wordpress.com/1998/10/24/busung-lapar-satu-generasi-bodoh-2/
http://www.gizi.net/cgi-bin/berita/fullnews.cgi?newsid1119411280,71181,
http://www.gizi.net/cgi-bin/berita/fullnews.cgi?newsid1119411280,71181,
No comments:
Post a Comment